Rumah besar yang berada dipunggung sebuah bukit kecil menjulang
tinggi. Bukit itu disebut Gunung Kepuh. Rumah itu merupakan sebuah
perguruan bela diri yang terkenal seantero betawi. Pemimpin dari
perguruan itu bernama Ki Samad (Shomad). ia seorang jawara yang terkenal
dan sulit dicari tandingannya. Pak Samad atau Ki Samad mempunyai dua
murid kesayangan yang bernama Jampang dan Sarba. Kedua pemuda itu
kononnya selain gagah dan tampan, juga mempunyai ilmu silat yang tinggi
dan tangguh.Setelah sekian lama Jampang dan sarba menuntut ilmu. Tibalah
waktunya mereka untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Inti
ringkasan dari nasehat Ki Samad yang selalu mereka ingat adalah “Harus
berhati-hati menggunakan ilmunya. Jangan sampai di amalkan di jalan yang
salah “.
Di tengah perjalanan Jampang dan Sarba mampir di sebuah warung nasi.
Disana melihat Gabus dan Subro, dua orang anak buah Juragan Saud (Gan
Saud), seorang tuan tanah. Dua orang ini suka berbuat semena-mena,
selalu berbuat onar dan pada waktu itu mereka makan spesial di warung
itu, tapi mereka tak mau membayarnya.
Jampang dan Sarba pun tak mau tinggal diam. Mereka menghadapi
centeng-centeng yang sombong itu. Gabus dan Subro merasa terkejut
melihat ada dua orang pemuda yang berani menghalangi tindakan mereka.
Selama ini setiap orang selalu takut dan tunduk kepada mereka.
Mereka meremehkan Jampang dan Sarba. Saat terjadi pertarungan, mereka
kena batunya ternyata Jampang dan Sarba bukanlah orang biasa. Disinilah
nama Jampang dan Sarba menjadi terkenal. Kedua centeng itu dibuat
kewalahan, dan mereka berhasil kabur membawa dendam yang membara.
Konon ceritanya setelah menangani kedua tokoh itu, Jampang dan Sarba berpisah menuju kampung halamannya masing-masing.
Dikampungnya, Jampang mengajarkan ilmu pengetahuan silatnya ke
santri-santri Haji Baasyir. Salah satu ucapan beliau, “Sebagai seorang
Muslim, kita tidak boleh lemah. Kita harus kuat agar bisa membela diri
dan melindungi orang yang lemah dari para penjahat”.
Haji Baasyir sangat menyukai pemuda yang bersemangat seperti Jampang.
Suatu hari, ia memberi tugas kepada Jampang untuk mengantarkan sebuah
surat ke adik seperguran H. Baasyir yang bernama Haji Hasan yang tinggal
di Kebayoran.
Jampang seorang sayang dan patuh ke H. Baasyir dan menerima tugas itu dengan senang hati.
Selepas dzuhur, Jampang telah berada di daerah Kebayoran dan melihat
serombongan pejabat sedang mengontrol daerah kekuasaan mereka. Para
penduduk yang berada di pinggir jalan menunduk seraya memberi hormat
layaknya seorang raja jaman dahulu memberi hormat.
Jampang merasa kesal. Untuk apa mereka memberi hormat seperti itu.
“Sekarang bukan jamannya raja-raja. Setiap manusia mempunyai kedudukan
yang sama di hadapan Tuhan. Jadi apa perlunya memberi hormat seperti
itu. Kekesalannya membuat tekad di hati dan pikirannya untuk membela dan
berjuang hak-hak rakyat kecil.
Saat Jampang sedang di dekat aliran sungai, ia mendengar suara
seorang wanita menjerit meminta pertolongan. Tampak dimatanya dia
melihat seorang laki laki kasar sedang hendak berbuat senonoh kepada
seorang wanita yang baru selesai mandi. Laki-laki bejat ini bernama
Kepeng, anak buah Si Jabrig, jawara daerah itu. dan Gadis itu bernama
Siti putri Pak Sudin.
Dia pun marah dan menolong wanita tersebut. Pertarungan sengit tak
bisa dielakkan. Dengan kesaktiannya Jampang berhasil mengalahkan Kepeng
Jampang mengantar Siti ke rumahnya. Lalu Pak Sudin orang tua Siti
mengantar beliau ke rumah Pak Haji Hasan untuk mengantarkan sebuah surat
titipan Haji Baasyir ke Haji Hasan.
Ternyata surat itu berisi anjuran agar Haji Hasan menyuruh agar
anak-anak muda asuhan beliau untuk belajar ilmu beladiri. Dengan
demikian mereka mampu menjaga keamanan di daerahnya. Memang kala itu
tanah-tanah di pinggir kota betawi sering tidak aman. Dan Jampang
mendapat tugas untuk melatih para pemuda itu.
Jampang pun melakukan tugasnya dengan baik. Dididiknya para pemuda
dengan sungguh-sunguh. Kehadiran Jampang di daerah itu membuat Jabrig
dan anak buahnya merasa tidak aman dan berniat menyingkirkan beliau.
Namun, Jampang bukan pemuda sembarangan. Ia adalah jebolan perguruan
silat Gunung Kepuh. Gebrakan Jabrig dancurkann anak buahnya tidak
berarti apa-apa. Ia bahkan mampu menghancurkan gerombolan itu. Keadaan
kampung pun menjadi aman.
Hancurnya gerombolan Si Jabrig membuat tugas Jampang selesai. Ia pun
segera pamit untuk kembali ke kampung halamannya. Hal ini membuat nama
Jampang kembali terkenal karena kehebatannya.
Setibanya dikampung, sebuah fitnah menanti. Sebuah fitnah yang dibuat
Subro dan Gabus yang menyatakan bahwa Jampang telah mencuri dua ekor
kerbau milik Juragan Saud. Mereka yang pernah dikalahkan jampang
ternyata masih merasa dendam dan mereka ingin menjebloskan Jampang ke
penjara dengan cara melaporkan Jampang ke pihak kepolisian.
Jampang tahu bahwa ini adalah sebuah Jebakan. Beliau menghadap Haji
Baasyir untuk diberi petunjuk. Haji Baasyir menyarankan Jampang untuk
menemui Juragan Saud dan menyadarkannya.
Akhirnya Jampang pergi ke rumah Juragan Saud. Disana ia malah
mengambil kerbau dan dan barang-barang berharga milik Juragan Saud lalu
membagikannya kepada masyarakat kecil yang membutuhkan.
Juragan Saud yang kesal kepada Jampang yang ia fitnah, malah telah
merampoknya. Ia meminta kepolisian agar mengerahkan pasukannya untuk
menangkap beliau.
Polisi pun dikerahkan dimana-mana. Mereka berhasil menemukan Jampang. Beberapa dari mereka telah menembak Jampang hingga tewas.
Namun mithos yang telah beredar Jampang tidaklah tewas. Dengan
kesaktiannya, Jampang mengelabui mereka dengan mengubah sebuah gedebong
(batang pohon) pisang seolah-olah menjadi dirinya. Jadi yang bunuh
mereka adalah sebuah gedebong pisang, bukan jampang sebenarnya.
Setelah keadaan aman Jampang menikahi Siti anak dari Pak Sudin, orang yang pernah ditolongnya dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar